Seperti banyak konsumen di perkotaan China, Gao Jian sudah usang yakin kualitas ponsel lokal di negaranya kalah dibandingkan merek absurd menyerupai Apple atau Samsung. Tapi di Desember lalu, laki-laki yang bekerja sebagai PNS di Shenzen ini berubah pikiran.
Dia tetapkan membeli Huawei Mate 20 Pro. “Desain dan kameranya lebih baik dari yang kuharapkan. Dan juga iPhone harganya makin tak terjangkau,” kata ia yang dikutip detikINET dari South China Morning Post.
Sama menyerupai Gao, sudah banyak orang mengubah persepsi perihal ponsel China yang beberapa tahun lampau dianggap tidak berkualitas dan kurang awet, bahkan di negeri sendiri. Di masa silam, produk elektronik asal Jepang, Amerika Serikat atau Eropa dianggap lebih mumpuni.
Namun merek China berangasan meningkatkan dana riset dan pengembangan, melaksanakan perluasan dan menciptakan produk bermutu untuk mengubah gambaran mereka baik di domestik maupun mancanegara. Akhirnya, mereka jadi tak terbendung.
Di bisnis smartphone, Huawei dikala ini yakni runner up vendor ponsel terbesar sejagat, cuma kalah dari Samsung. Xiaomi dan Oppo menempati posisi 4 dan 5 menurut riset dari IDC simpulan tahun lalu. Belum lagi merek besar lengan berkuasa lain yang berkibar menyerupai Vivo, OnePlus atau ZTE.
“Jelas tidak semua merek smartphone China sama sukses. Tapi kebanyakan dari mereka yang berhasil di pasar domestik punya peruntungan anggun juga di pasar global,” kata Kiranjeet Kaur, periset senior IDC Asia Pasifik.
China sekitar 3 tahun kemudian mempunyai 300 perusahaan ponsel lokal dan tahun kemudian turun menjadi 200 perusahaan alasannya yakni rivalitas amat ketat. Dari jumlah itu, beberapa merupakan kelompok elit dengan dana besar. Mereka ini yang banyak berpromosi dan berlomba soal inovasi.
Kaur menyatakan para vendor besar itu fokus membangun merek dan menciptakan fitur canggih yang dijual di harga terjangkau. Sebuah taktik yang terbukti mujarab melawan Apple dan Samsung.
Huawei bekerja sama dengan merk kamera kenamaan Leica. Xiaomi menjual ponsel spek tinggi tapi banderolnya murah. Sementara Oppo, Vivo, OnePlus dan Realme yang berada di bawah induk perusahaan BBK Electronics, sangat berangasan berinovasi maupun berpromosi.
Samsung dan Apple pun kewalahan, terutama tentu di China. Desember lalu, Samsung menutup pabrik smartphone di Tianjin alasannya yakni lesunya penjualan. Pada tahun 2013, Samsung vendor terbesar di China dengan 20% market share, kini tinggal 1%.
Apple memang masih ranking 5 di China. Tapi baru-baru ini, CEO Apple Tim Cook mengumumkan penurunan pendapatan perusahaannya antara lain alasannya yakni bisnis yang merosot di China. Harga iPhone yang mahal menciptakan banyak calon konsumen mundur.
“iPhone gres terperinci tidak sepopuler 4 tahun silam. Banyak konsumen di China tidak sanggup menjangkau harganya dan kini ada lebih banyak pilihan tersedia,” ujar Wang Dan, seorang pemilik toko ponsel di Shenzen.
Era 5G diprediksi akan menjadi peluang besar bagi vendor ponsel China untuk makin berkibar. Walaupun ada halangan, contohnya dicekalnya Huawei oleh Amerika Serikat. Bagi CEO Xiaomi, Lei Jun, hal itu bukan masalah. Vendor China sanggup lebih fokus ke Eropa misalnya.
“Jika kita terus meningkatkan kualitas dan desain kita, konsumen akan mau membayar lebih untuk membeli produk kita,” tandasnya.
Sumber detik.com